Kita lahirnya sendiri, gak keluar bareng pacar. Mati pun biasanya sendiri, gak selalu mati bareng pacar. Andai aktivitas mudik dianggap sebagai miniatur dari konsep sangkan paran, sekaligus untuk mikul duwur mendem jero jasa leluhur melalui nyebar ganda arum, maka bisa dimaklumi alasan kenapa lebarannya jomblo itu jauh lebih filosofis dibanding lebarannya yg bukan jomblo. Sebab seorang jomblo, waktu berziarah, itu dilakukan bareng dengan keluarga, yang masih satu leluhur. Bukan bareng pacar, yang gak ada hubungan darah.
Memang, secara fisik, yang bukan jomblo pun terkadang ziarahnya ya cuma bareng keluarga. Namun terkadang angan dan pikirannya sedang berada bersama dengan si "dia". Artinya, yang bareng keluarga hanyalah jasadnya saja. Bukan hatinya.
Dalam kondisi seperti itu, dia hanya bisa mengambil makna secara lahiriahnya saja, bukan maknawinya. Hanya bisa mencerna apa yang ditangkap oleh indra, bukan yg oleh hati.
Jadi, kalau anda masih mengkritik,
menjelek-jelekkan, apalagi kok sampai mengharam-haramkan tradisi mudik, lebih baik coba deh anda jadi jomblo dulu. Agar dapat memaknai mudik secara hakiki dan filosofis. Sebab ada banyak hal yang hanya bisa dipahami disaat kita sedang menyendiri.
Tertanda: penasehat spiritual paguyuban jomblomas raya. Yang kalau ada kegiatan maunya cuma ngasih nasehaaaat terus, gak pernah mau ikut cape-cape kerja
3 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar